Bab 1: The Divine Reality — Ateisme
Ateisme
Secara linguistik, definisi dari ateisme adalah “bukan seorang theist”; atau seseorang yang tidak percaya kepada Tuhan atau dewa-dewa. Namun definisi ini gak perlu dibahas lebih dalam karena para akademisi sendiri masih belum saklek 100% tentang definisi ateisme sesungguhnya. Yang perlu ditanyakan adalah: Apakah seorang yang mengaku dirinya ateis memiliki argumen yang bisa menunjukkan bahwa Tuhan itu memang gak ada? Klaim ini perlu justifikasi dan harus ada bukti yang mendukungnya.
Pertanyaan kedua: Mungkinkan seorang ateis menjadi ateis karena mereka merasa argumen-argumen yang menunjukkan keberadaan Tuhan itu belum meyakinkan? Nah kalau ini sih bukan ranahnya ateisme lagi tapi sudah masuk ke ranahnya agnotisisme. Orang yang berada di posisi ini seolah mengisyaratkan bahwa mereka akan menerima ide adanya Tuhan jika memang ada argumen kuat yang bisa membutikannya.
Pertanyaan berikutnya: Atau bisa jadi mereka ini orang yang gak percaya aja sama Tuhan? Jika betul demikian, lalu apa bedanya dong dengan kepercayaan-kepercayaan lain, termasuk yang percaya dengan cerita dongeng dan astrologi?
Menurut pengalaman diskusi si penulis buku, kebanyakan ateis ini menjadi ateis karena mereka belum menemukan argumen yang kuat soal keberadaan Tuhan. Jadi mereka sebenarnya bukan benar-benar ateis, tapi lebih ke agnostik. Masih banyak ruang diskusi dan harapan untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu benar adanya.
Misoteisme: Kebencian terhadap Tuhan
Walaupun sebenernya miso (benci) teisme (tuhan) ini gak termasuk ideologi ateisme, namun tetap menarik dibahas karena adanya kesamaan pandangan dengan ateisme, terutama soal “penderitaan” yang terjadi di dunia ini. Misoteis menganggap Tuhan bertanggungjawab penuh terhadap random evil dan undeserved suffering. Singkatnya: apa yang manusia telah perbuat untuk pantas mendapatkan Tuhan dan segala bentuk kejahatan dan penderitaan yang Ia biarkan terjadi?
Satu pertanyaan yang penulis buku ini sering lontarkan kepada seorang ateis: Jika Tuhan itu benar adanya, apa kamu mau menyembah-Nya? Jawaban yang sering didapat adalah “tidak” dengan alasan ngapain menyembah Tuhan yang suka membiarkan kejahatan dan kesengsaraan terjadi. Menurut penulis, mereka yang berpandangan demikian tidak ingin melihat dunia dari sisi lain, hanya dari kacamata mereka sebagai manusia saja. Mereka pikir Tuhan melihat dunia ini persis seperti apa yang manusia lihat sehingga semua penderitaan dan kesengsaraan ini harus dihentikan oleh-Nya. Ini sama saja seperti memanusiakan Tuhan, padahal Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Jika Ia masih terus membiarkan ini semua terjadi, keberadaan-Nya harus dipertanyaakan atau bahkan ditolak mentah-mentah.
Pada titik ini, misoteis berpaham bahwa moral manusia itu lebih baik dan lebih memiliki rasa kasih sayang dibanding Tuhan. Mereka belum memahami bahwa Tuhan sendiripun tidak senang dengan segala kejahatan yang terjadi. Ada alasan-alasan yang tidak kita ketahui dan hanya Dia yang tahu karena Kebijaksanaan-Nya (dijelaskan lebih lanjut di Bab 11).
Ateisme dan Naturalisme (Philosophical Naturalism)
Naturalisme adalah sebuah paham dimana semua fenomena yang terjadi di dunia ini bisa dijelaskan dengan proses-proses fisik. Proses-proses fisik ini “buta” dan tidak rasional, artinya mereka ga punya tujuan-tujuan terentu maupun kemampuan untuk mengait-kaitkan antara satu hal dengan yang lain. It just happens. Paham ini menolak semua ide-ide yang berhubungan dengan supernatural.
There is nothing beyond the natural, physical world
— Richard Dawkins
Hampir semua ateis berpaham demikian, walaupun ada juga ateis yang percaya dengan adanya fenomena-fenomena non-fisik.
Definisi menurut Islam
Dalam bahasa Arab Ateisme disebut ilhaad yang berarti ‘penyimpangan’ atau lebih tepat diartikan sebagai ‘godlessness’. Kata ilhaad ini berasal dari kata lahad yang sering digunakan untuk menunjukkan kuburan ala Islam dimana sebuah lubang digali dan dibuatkan space kecil disampingnya untuk si mayat.
Secara linguistik, ateis adalah sebuah bentuk penyimpangan dari fitrah manusia yang sudah mengenal Tuhan sebagai entitas yang patut disembah, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW (dibahas di Bab 4).
Dalam Al-Qur’an, ateis digambarkan sebagai orang-orang yang tidak yakin atas perkatakaan mereka sendiri.
أَمْ خَلَقُوا۟ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۚ بَل لَّا يُوقِنُونَ
”Ataukah mereka yang menciptakan langit dan bumi? Sesungguhnya mereka sendiri tidak yakin (atas apa yang mereka katakan)” - Qur’an 52:36
Meningkatnya Ateisme
Walaupun ideologi ateisme ini sudah muncul sejak abad ke-8 (Dahriyya), namun jumlahnya tidak pernah sebanyak jumlah saat ini. Di Inggris dan Wales, 25.1% orang menyebut diri mereka tak beragama (2011). Di Eropa, 46% tidak percaya pada konsep tradisional Tuhan, dan 20% tidak percaya sama sekali dengan keberadaan Tuhan, spirit (jin dkk), maupun life force (2010). Setengah orang Cina menganggap diri mereka ateis. 5% orang Saudi Arabia juga mengaku ateis, dan lebih dari 19% mengaku tidak relijius (2012).
Salah satu alasan penulis menyusun buku ini adalah untuk menyajikan pembaca dengan materi-materi soal mengapa konsep thesime dalam Islam itu masuk akal dan logis sementara paham ateisme itu khayalan belaka.
… [Bersambung ke Bab 2]