Bab 7: The Divine Reality — The Argument from Consciousness

Apr 12, 2024 23:57 · 1720 words · 9 minute read #ateisme #islam #filosofi

Bab 7: The Divine Reality — The Argument from Consciousness

Catatan pribadi dan ringkasan Bab 7 dari buku The Divine Reality oleh Hamza Andreas Tzortzis.

Bismillah.

Mari kita mulai dari definisi consciousness terlebih dahulu. Consciousness adalah fenomena adanya perasaan atau pengalaman subjektif. Contoh:

  • Perasaan saat kita makan durian. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda soal rasa durian. Yang suka durian pun pasti memiliki derajat kesukaan yang berbeda-beda juga.
  • Mendengarkan murattal Qur’an.
  • Melihat warna.
  • Rasa sakit, sedih, senang, sayang, tenang, kecewa.

Intinya segala sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman pribadi. Istilah lainnya qualia. Dalam terminologi Islam biasa disebut ruh: ia yang menggerakkan makhluk hidup. Saya akan tetap merujuknya sebagai consciousness sampai akhir artikel, simply karena belum mendapatkan kata yang tepat dalam Bahasa Indonesia.

Beberapa saintis (terlebih saintis neuro) berusaha menjawab fenomena ini hanyalah satu efek samping dari kinerja otak kita. Neuron menyala, ada semacam bioelektrik yang dikirim ke otak, otak menerjemahkan sinyal-sinyal tersebut, dan tadaa, tiba-tiba ada consciousness. Well, penjelasan ini terdengar begitu sederhana tapi ada satu pertanyan besar yang belum terjawab:

Bagaimana bisa fenomena subjektif ini muncul dari sesuatu yang objektif?

Tak bisakah kita hidup seperti zombie yang tak memiliki kesadaran sama sekali? Bukankah sistem syaraf dan otak kita hanyalah organ tubuh? Bagaimana caranya organ ini bisa menghasilkan fenomena subjektif, fenomena yang mendefinisikan kata ‘saya’?

Tidak mengherankan bila banyak filsuf yang menyebut fenomena ini sebagai the hard problem of consciousness. “Hard” karena mereka tak mampu menjawab pertanyaan besar tadi.

Daniel Bor, seorang peneliti, menyatakan, “… gimana caranya sel-sel syaraf seberat 1300 gram ini bisa melahirkan sensasi, pikiran, ingatan, perasaan, dan emosi yang menyibukkan kita di setiap saatnya? The hard problem of consciousness tetap tak terjawab.”

Penulis buku berargumen bahwa kalaupun para saintis neuro tahu semua tentang sistem syaraf dan otak kita, mereka tetap tak akan bisa merasakan apa yang kita rasakan saat minum jus jeruk atau saat melihat sesuatu yang indah. Alasannya adalah karena sains nuero ini mostly adalah ilmu korelasi, korelasi antara aktifitas otak dengan apa-apa yang kita laporkan. Mereka hanya tahu deskripsi apa yang kita rasakan melalui kata-kata. Orang ketiga tak akan pernah tahu apa yang dirasakan orang pertama.

Christof Koch dalam bukunya Consciousness: Confessions of a Romantic Reductionist, “bagaimana otak mengubah sinyal bioelektrik menjadi fenomena subjektif masih menjadi misteri dan menghantui metodologi sains”

Mary thought experiment

Frank Jackson pernah menyinggung fenomena subjektif ini di dalam thought experiment-nya yang terkenal. Parafrase singkatnya:

Mary adalah seseorang yang menghabiskan hidupnya di dalam ruangan hitam-putih. Dekorasi, gambar, TV, buku, semuanya hitam-putih. Ia memiliki segala akses ke penelitian sains: termasuk bagaimana otak mengolah sinyal dari mata menjadi persepsi sebuah objek. Suatu hari ia dipersilahkan keluar ruangan dan mendapatkan sebuah mawar merah. Di momen itulah pertama kalinya ia melihat warna merah. Ia menyadari bahwa semua ilmu sains yang ia telah pelajari tidak cukup untuk merepresentasikan pengalamannya melihat warna merah.

Dengan kata lain, ia tak bisa tahu rasanya melihat warna merah hanya dari fakta-fakta fisikal yang ia pelajari. Ibarat seseorang yang berusaha menjelaskan rasa buah mangga kepada mereka yang belum pernah merasakannya. Mau dibuatkan buku 1000 halaman pun, dengan ilmu-ilmu sains dan bahasa yang jelas, mereka tetep gak akan paham rasa mangga sampai benar-benar merasakannya.

Fisikalisme atau materialisme tak dapat menjelaskan consciousness yang subjektif karena ilmu pengetahuan tentang otak (fisik) tidak dapat membantu menerangkan pengalaman yang subjektif.

Terlepas dari ini semua, mari kita telaah argumen-argumen yang berusaha menjelaskan consciousness dari sudut pandang materialis.

Pendekatan materialistik

Eliminative materialism

Pandangan ini tidak menganggap consciousness sebagai “hard problem”. What hard problem? Mereka menolak mengakui adanya fenomena subjektif dan menyebutnya sebagai ilusi belaka. Tapi lucunya, baik ilusi maupun tidak, kita sebagai manusia tidak bisa berbohong pada diri sendiri bahwa kita memang merasakan fenomena subjektif ini. Karena consciousness itu ya fenomena dimana kita merasakan sesuatu, termasuk sebuah ilusi!

Mereka juga beranggapan bahwa kedepannya kita akan tahu sendiri soal teka-teki consciousness saat ilmu neurosains sudah maju.

Namun pandangan ini tetap belum bisa menjawab pertanyaan besar di atas: Bagaimana bisa fenomena subjektif ini muncul dari sesuatu yang objektif?

Reductive materialism

Pandangan ini mirip dengan dengan eliminative materialism, namun ia tidak menolak adanya fenomena subjektif dan malah mengakuinya. Mereka bersikukuh bahwa kesemua ini hanyalah susuan materi belaka dan akan bisa dijelaskan dengan sains suatu saat nanti.

Lagi, ia tak menjawab pertanyaan besar tadi.

Emergent materialism

Ide ini bermula dari konsep emergence. Emergence terjadi ketika sesuatu yang sangat kompleks tersusun sedemikian rupa sehingga sebuah fenomena baru muncul. Argumen ini terdengar seperti argumennya orang malas, “It just happens. Pokoknya ruwet sampai-sampai nggak ada yang tau gimana terjadinya!”

Revonsuo dalam karyanya Consciousness: The Science of Subjectivity dengan sarkas menyamakan pandangan ini dengan ide dimana seekor hamster bisa membuat buku Origins of Species-nya Charles Darwin bila sebuah kopi buku tersebut diletakkan di dalam kandangnya. It just happens!

Bisakah dijelaskan dengan sains?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penting rasanya memahami batasan-batasan sains karena ia bukan segalanya. Domain sains terbatas pada masalah-masalah yang hanya bisa dipecahkan melalui observasi. Seperti yang sudah disinggung di awal tulisan, bahwasannya mustahil bagi sang saintis (orang ketiga) untuk mengamati pengalaman atau sensasi yang dirasakan partisipan (orang pertama). Sains hanya bisa mengobservasi aktifitas otak yang memberi indikasi bahwa sesuatu sedang terjadi, namun tidak pada rasa sensasi yang dihasilkan.

Jadi, tidak. Fenomena subjektif bernama consciousness ini tidak dapat diobservasi dengan sains. Bila demikian, apa bisa dijelaskan dari sudut pandang non-materialis?

Pendekatan non-materialistik

Substance dualism

Substance dualism adalah sebuah pandangan yang berpendapat bahwa ada dua bentuk utama di dunia ini: fisik dan non-fisik. Keduanya independen dan dapat berinteraksi satu sama lain. Sebagai contoh:

  • Rasa sedih (non-fisik) mengakibatkan badan (fisik) mengeluarkan air mata
  • Kepala (fisik) yang terbentur tembok menghasilkan rasa sakit (non-fisik)

Bagaimana dan mengapa mereka dapat berinteraksi kita tak tahu.

Pandangan ini terdengar lebih dekat dengan pandangan teisme namun sayangnya tetap tak dapat menjawab beberapa pertanyaan fundamental berikut: bagaimana fenomena subjektif (non-fisik) dapat timbul dari fenomena objektif (fisik) dan darimana benda non-fisik ini berasal? Kenapa ia bisa berada di dunia yang kelihatannya fisikal ini?

Epiphenomenalism

Pandangan ini mirip dengan substance dualism, namun mereka berpendapat hanya materi fisik sajalah yang dapat menghasilkan efek non-fisik, tidak sebaliknya. Pandangan ini jauh dari realita dan terbantahkan dengan mudah: bayangkan tangan kita (fisik) berada di dekat api -> terasa sakit (non-fisik) karena panas -> secara otomatis badan (fisik) menjauhkan tangan kita dari api. Bila pandangan ini benar, maka transisi dari rasa sakit karena panas ke menjauhnya tangan dari api tidak ada hubungannya sama sekali. Ini kan absurd.

Atau bayangkan ada seorang pasien sakit jiwa yang datang ke dokternya, ia mengadu bahwa rasa paniknya (non-fisik) pagi tadi menyebabkannya menyakiti (fisik) orang lain. Lalu sang dokter dengan enteng menjawab, “gak ada hubungannya kaleee”.

Pansychism

Mereka berpendapat bahwa segala yang ada di dunia ini conscious. Setiap materi memiliki bentuk fisik dan non-fisiknya (consciousness). Pansychism menegaskan bahwa consciousness adalah poperti intrinsik alam semesta.

Karena setiap materi memiliki consciousness maka otak menurut mereka adalah kumpulan consciousness (dari sel-sel dan syaraf otak) yang terakumulasi.

Jika benar bahwa otak adalah akumulasi dari consciousness yang terpisah-pisah, seharusnya kita sebagai manusia tidak menjadi makhluk yang koheren. Profesor Edwan Feser berkomentar perihal ini, “… kita tak hanya memahami tekstur, warna, bentuk, dll sebagai elemen-elemen yang terpisah; kita melihatnya sebagai sebuah buku yang utuh. Dan kita yang tahu itu, bukan syaraf-syaraf yang masing-masing memahami satu aspek tertentu dari buku tersebut.”

Selain itu, masih ada beberapa objeksi terhadap pandangan ini:

  1. Tak adanya bukti yang menunjukkan adanya consciousness di materi fisik.
  2. Mereka tidak bisa menjelaskan bagaimana sebuah materi dapat memiliki consciousness. Pun darimana ia berasal.
  3. Consciousness sampai saat ini hanya bisa ditemukan di dalam makhluk hidup. Sebagai contoh: apa artinya sebuah consciousness tanpa makhluk yang merasakannya? Apalah arti rasa sedih tanpa orang yang bersedih? Apalah arti sebuah renungan tanpa orang yang merenung? Sudah jelas bahwa consciousness baru bermakna ketika ada agen yang mengalaminya.

Penjelasan terbaik: Allah

Penjelasan yang paling sederhana dan terbaik tentang consciousness ini adalah Allah.

Pertama, ia menjawab asal muasal consciousness yang mana semua pandangan-pandangan di atas tak dapat menjawabnya. Consciousness datang dari Zat yang All-Conscious.

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ

“Apakah pantas Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui (All-Aware).” — QS 67:14

Di Bab 3 soal akal dan nalar, kita sudah bahas bagaimana rationality cannot come from non-rational physical processes. Kita bisa terapkan argumen yang sama untuk consciousness: consciousness cannot come from non-conscious physical processes. Sistem syaraf dan otak sendiri bukanlah benda yang berkesadaran, sehingga mereka tak mungkin menghasilkan sesuatu di luar kemampuan mereka. A thing cannot give rise to something if it does not contain it, or if it does not have the ability (or the potential) to give rise to it. Allah adalah Zat yang conscious, maka masuk akal bila consciousness dihasilkan dari Ia yang conscious.

Kedua, ia menjawab bagaimana consciousness bisa masuk dan berinteraksi dengan materi fisik (tubuh kita). Jawabannya sederhana, Allah telah menghendakinya melalui takdirNya. Charles Taliaferro menjeaskan,

Consciousness emerges from the physical cosmos through an abiding comprehensive will of God that there be a world of physical and non-physical objects, properties, and relations … [all of which] stem from an overwhelming, divine, activity.

Bila di awal kosmos ini hanya ada materi (fisik) yang terbentuk, maka terbentuknya consciousness (non-fisik) tidak masuk akal. Sebaliknya, bila kosmos yang fisikal ini diciptakan oleh semacam consciousness (The Grand Mind, Tuhan), maka kemampuan berinteraksi antara benda fisik dan non-fisik menjadi masuk akal.

Ketiga, ia menjelaskan kemampuan kita merasakan fenomena subjektif ini dan sadar betul bagaimana rasanya menjadi diri kita sendiri. Kita diciptakan dari Zat yang Maha Sadar dan Maha Hidup.

ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ

“Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup” — QS 2:255

Perlu ditekankan bahwa posisi teistik perihal consciousness ini tidak bertentangan sama sekali dengan ilmu sains neuro. Ia hanya mengisi potongan puzzle yang hilang, yang tak dapat ditemukan oleh sains. Posisi ini menjawab the hard problem of consciousness.

Penutup

Saya rasa kita perlu benar-benar mempertimbagkan apa yang telah Allah firmankan untuk merenung dan berefleksi diri, supaya dengannya kita dapat menyimpulkan jika bukan karena Allah maka kita tak akan pernah merasakan fenomena subjektif ini. Dengan kata lain, denying God = denying ourselves!

أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنفُسِهِم

“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?” — QS 30:8

Epilog

Sebenarnya kami ingin membahas sesuatu yang tidak dibahas di buku aslinya, tentang fenomena near death experience. Tapi sepertinya akan membuat artikel ini terlalu panjang untuk dibaca. Bagi pembaca yang tertarik, dapat menonton video yang kami lampirkan di bawah. Bonus satu video yang membantah ideologi materialisme dalam sains dari seorang saintis neuro!

Edit on