Bab 6: The Divine Reality — The Divine Link

Jul 11, 2023 16:10 · 1267 words · 6 minute read #ateisme #islam #filosofi

Bab 6: The Divine Reality — The Divine Link

Catatan pribadi dan ringkasan Bab 6 dari buku The Divine Reality oleh Hamza Andreas Tzortzis.

Di suatu hari yang cerah saat jalan-jalan di taman kamu melihat serangkaian domino—satu domino mendorong jatuh domino yang lain. Selagi takjub mengikuti jatuhnya domino satu per satu, domino terakhir ternyata jatuh persis di depan kakimu. Merasa kagum melihat hal indah ini, kamu mulai menyusuri rantai domino ini untuk mencari tahu letak domino pertama. “Ntar juga ketemu”, batinmu yakin.

🛑 Sekarang berhenti sejenak dan renungkan, kenapa kamu begitu yakin ujung domino ini bakal ketemu?

Well, karena secara intuitif kita tahu jumlah domino ini terbatas. Kalau jumlahnya tak terbatas, mungkin kamu sudah mengurungkan niatmu tadi untuk mencari domino pertama—gak bakal ketemu karena gak ada ujungnya. Pun, domino-domino ini akan membutuhkan waktu yang tak terhingga pula agar domino terakhir tadi bisa jatuh di depan kakimu. Dengan kata lain, domino terakhir ini, secara logis, tak akan pernah jatuh.

Hal ini pernah disinggung di bab sebelumnya, yang umum disebut dengan infinite regress of causation.

Kembali ke domino tadi, kamu juga tahu persis bahwa domino pertama tak mungkin jatuh dengan sendirinya. Pasti ada penyebabnya; entah angin, kesenggol daun, didorong seseorang. Pasti ada penjelasannya.

Dua hal dapat disimpulkan:

  1. Jumlah domino ini mustahil tak terhingga.
  2. Mustahil bagi domino pertama untuk jatuh dengan sendirinya.

Analogi ini bisa kita aplikasikan juga untuk alam semesta, ia dan segala isinya bergantung pada sesuatu. Bergantung gimana? Satu contoh saja, kehadiran dan munculnya alam semesta ini bergantung pada penyebabnya. Jika penyebab ini (apapun itu) tak menyediakan kondisi yang ideal agar alam semesta ini bisa lahir dan terus ada, mungkin alam ini sudah binasa. Layaknya segelas teh yang kamu buat di pagi hari, kehadirannya bergantung pada kemauanmu. Kalau kamu gak ada kemauan untuk bikin teh, ya gak akan ada itu tehnya. Pun ia bergantung pada kondisi yang ideal agar ia bisa terus ada, misal gak ditaro di atas lava.

Kita tahu bahwa mustahil bagi alam semesta untuk memiliki rantai penyebab yang tak terhingga, pasti ada ujungnya. Ujung ini (the ultimate cause) tak bergantung pada siapapun. Karena kalau demikian, ia sama saja dengan rantai penyebab tadi yang bergantung pada penyebab lain.

Sifat kebergantungan inilah yang dimaksud dengan contingent. Lawan kata dari contingent adalah necessary.

Definisi Necessary

Maksud dari kata necessary di sini bukanlah seperti penggunaan umumnya, namun ia merujuk pada sesuatu yang absolut; sesuatu yang pasti; sesuatu yang tak terbayangkan bila harus sebaliknya. Memang agak sulit untuk dijelaskan karena semua yang dipersepsikan oleh pengalaman empiris kita ini contingent, tidak necessary.

Segala sesuatu yang tidak necessary itu tidak harus ada. Contoh dari segelas teh tadi, ia tak harus ada. Dan mungkin bisa terus tak ada. Bisa jadi karena kamu memang tak memutuskan untuk membuat teh pagi itu. Atau memang lagi tak berkesempatan membuatnya. Kehadirannya bergantung pada faktor eksternal.

Tidaklah sesuatu dapat disebut necessary bila komponennya bisa disusun dengan cara lain. Misal kotak susu. Ia berbentuk kotak dengan volume 20x10x10cm, kemasannya berwarna putih, ada sedotannya. Ia contingent karena pertama, kualitas fisiknya ditentukan oleh faktor eksternal (oleh sang desainer, oleh pabrik, dll). Yang kedua, ia bisa saja diproduksi dengan kualitas fisik yang lain: volumenya bisa diubah menjadi 15x15x15cm, kemasannya berwarna cokelat, dan alih-alih sedotan ia punya tutup berbentuk bulat. Tidak necessary sama sekali.

Lalu bagaimana dengan alam semesta? Apa bisa kita bayangkan alam semesta ini memiliki properti yang berbeda? Tentu: ia bisa saja memiliki jumlah bintang yang lebih banyak (atau lebih sedikit). Bumi ini bisa saja berevolusi terhadap bintang lain. Kecepatan cahaya bisa jadi hanya 100.000 km/jam (alih-alih 1.079.252.849 km/jam). Dan lain sebagainya.

Dari prinsip ini dapat disimpulkan bahwa: segala sesuatu yang tersusun dari komponen-komponen/bagian-bagian itu dikonstruksi (generated), ia bergantung pada bagian-bagiannya. Karena sifat kebergantungannya dengan sesuatu yang lain, ia contingent.

Sesuatu yang necessary itu abadi. Mengambil contoh teh dan kotak susu yang contingent tadi, baik keberadannya maupun atribut-atributnya ditentukan oleh faktor eksernal. Bila mereka abadi, udah dari sononye, lalu siapa yang memunculkan dan menentukan atribut-atribut ini? Maka tak mengherankan pula untuk berpostulasi bahwa alam semesta, yang memiliki banyak properti/atribut ini, pastilah bermula dan tidak abadi.

Zat yang bersifat necessary, di-infer dari tiga point sebelumnya, pastilah:

  • Tidak bergantung pada apapun. Ia self-sufficient.
  • Keberadaannya absolut, tak memerlukan penjelasan eksternal. Karena kalau sebaliknya, ya namanya contingent.
  • Abadi.

Pandangan Islam

Argumen-argumen yang dipaparkan sejauh ini sama sekali tidak menyinggung keberadaan Tuhan. Kita hanya mengukuhkan fondasi dengan nalar bahwa eksistensi zat yang necessary itu absolut dan pasti. Dan ternyata ia sejalan dengan konsep ketuhanan dalam tradisi Islam.

فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
"Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam" — QS 3:97

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِ ۚوَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ
"Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji." — QS 35:15

ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ
"Allah yang Abadi" — QS 112:2

Tradisi intelektual Islam juga melahirkan beberapa filsuf prominen seperti Ibn Sina. Ia menjelaskan keberadaan wujud yang necessary yang ia rujuk dengan Waajib Al-Wujuud dan keberadaan yang contingent dengan istilah Mumkin Al-Wujuud. Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh para intelektual lain seperti A-Razi, Al-Ghazali, Imam Al-Juwayni.

Al-Ghazali menyediakan argumennya,

There’s no denying existence itself. Something must exist and anyone who says nothing exists at all makes a mockery of sense and necessity. The proposition that there is no denying being itself, then, is a necessary premise. Now this Being which has been admitted in principle is either necessary or contingent… What this means is that a being must be self-sufficient or dependent… From here we argue: If the being the existence of which is conceded be necessary, then the existence of a necessary Being is established. If, on the other hand, its existence is contingent, every contingent being depends on a necessary Being; for the meaning of its contingency is that its existence and non-existence are equally possible. Whatever has such a characteristic cannot have its existence selected for without a determining or selecting agent. This too is necessary. So from these necessary premises the existence of a necessary Being is established.

Sanggahan

Ada beberapa sanggahan yang umum digunakan untuk meng-counter argumen dari kontingensi.

Infinite regress of causation itu mungkin. Kalau ada orang yang bersikukuh, apapun itu alasannya, bahwa infinite regress of causation itu mungkin teraktualisasi dan/atau alam semesta ini bisa saja abadi, pertanyaan “Lantas kenapa alam semesta ini ada?” harus diajukan. Keberadaannya butuh penjelasan.

Bila ia berpendapat bahwa eksistensinya tak butuh penjelasan (necessary), maka setidaknya ia telah setuju bahwa ada satu macam eksistensi yang necessary. Ya walaupun kita tau juga bahwa alam semesta itu contingent dari fakta bahwa ia tersusun dari berbagai macam properti.

Nanti juga kita tau lewat sains kok. Bro, argumen dari kontingensi memang tak bertujuan untuk menyinggung sains sama sekali. Ia berfokus pada sifat dan implikasi kontingensi melalui nalar dan akal. Bila sesuatu itu contingent, secara definisi ia bergantung pada sesuatu yang lain. Layaknya lingkaran, secara definisi ia tak bersisi seperti segi empat atau segitiga.

Salah satu tujuan sains sendiri adalah mencari penjelasan dari suatu fenomena. Kita tahu bahwa hanya hal-hal yang contingent lah yang memiliki penjelasaan (atas keberadaannya, propertinya, dan kemusnahannya); zat yang necessary tak butuh penjelasan. Artinya, sains memang dari awal tidak berurusan dengan zat yang necessary. Salah tempat.

Tuhan juga butuh penjelasan (atas keberadaanNya). Well, kita tahu bahwa zat yang necessary tidak butuh penjelasan (yang eksternal, selain dirinya sendiri). Artinya, secara definisi dan secara nalar, Ia mustahil untuk tidak eksis. Karena mustahil untuk tidak eksis, Ia tak butuh penjelasan sama sekali.

Penutup

Di bab ini kita telah menyimpulkan bahwa Tuhan eksis by necessity dan segala yang ada dunia ini bergantung padanya, secara filosofis dan secara literal; kita tak mungkin ada dan terus hidup tanpaNya. Mengetahui ini seharusnya dapat menumbuhkan kecintaan terhadapNya. 💛💛💛

… [Bersambung ke Bab 7]

Stay well!

Edit on