Gak Enaknya Jadi Ekspat (Part 1: Housing)
Kerja jadi ekspat di negeri orang itu gak selamanya berjalan mulus dan sesuai ekspektasi. Banyak hal yang bisa ngebuat kita merasa kecil dan gak berdaya sama sekali, terlebih kalau kondisi benar-benar lagi gak memihak. Sering mikir apa mending balik aja ke Indonesia daripada ribet-ribet ngurus ini itu.
Di artikel ini saya mau sedikit cerita pengalaman pribadi saya tentang bagaimana menantangnya mencari apartment sebagai ekspat, dengan kondisi keuangan pada saat itu yang cukup pas-pasan.
Kedatangan di Belanda
Housing atau cari apartment yang bisa disewa selalu jadi dajjal bagi ekspat-ekspat yang tinggal di Belanda. Apalagi kalau cari daerah Amsterdam, dimana demand sangat tinggi namun ketersediaan apartment sangat minim. Bisa mendapatkan apartment di daerah Amsterdam dengan harga yang sesuai kantong itu sudah sujud syukur.
Seminggu pertama semenjak kedatangan saya di Belanda saya habiskan di sebuah hostel kecil di daerah Diemen Zuid bersama 5 rekam setim lainnya. Dua minggu berikutnya saya habiskan di apartment rekan saya dari Hungaria, kebetulan dia sudah dapat apartment terlebih dahulu. Saya terpaksa numpang di sana karena pada waktu itu masih banyak dokumen yang harus saya urus di direktorat imigrasi Belanda sebelum saya bisa membuka rekening bank di sini. Membuka rekening bank di Belanda itu hampir wajib hukumnya karena hampir semua transaksi dilakukan dengan PIN (non-cash), termasuk dalam hal pembayaran biaya bulanan apartment, utilities, beli tiket transportasi, biaya registrasi di imigrasi, dll. Jadi saya belum bisa menyewa apartment sebelum punya rekening bank.
Di waktu yang bersamaan, agent (makelaar) yang disewa kantor mulai mencari apartment untuk saya, yang pada waktu itu bergaji pas-pasan, cuma €3.500 per bulan, belum termasuk pajak (kalau gak salah ~33%)! Saya request ke abang agent-nya untuk dicarikan apartment dengan harga di bawah €1.200, walaupun berkali-kali dibales “mustahil” sama abangnya. Hehe.
Pada akhirnya dapet juga apartment dengan harga €1.125. Studio sih, ukuran 44m², cuman inclusive (termasuk listrik, air, dan internet) dan furnished. Deposit juga terbilang cukup murah, hanya €1.000. Tapi yang terpenting, dapet tempat tinggal sendiri yang masuk budget itu sudah lebih dari cukup.
Cari apartment tanpa jasa agent di Belanda itu saaangat sulit, kalaupun dapet ya mahal. Agent-agent ini sudah punya banyak jaringan dengan landlord. Merekalah yang pertama kali diberitahu bila ada apartment yang available. Lucunya, seminggu sebelum dapet apartment ini saya pernah coba kontak sendiri landlord apartment yang sama untuk janjian viewing. Dan ditolak! Alasannya macem-macem. Eh pas agent ngabarin ke saya dia dapet apartement murah (ya apartment yang itu), besokannya langsung bisa viewing. Kan lucu.
Tapi saya termasuk yang cukup beruntung karena bisa numpang di apartment teman (tanpa biaya) dan bisa dicarikan apartment oleh agent. Ada teman sekantor dari Mesir yang terpaksa menyewa Student Hotel selama 3-4 minggu dengan biaya sendiri karena kantor hanya sanggup membiayai seminggu awal saja. Dia juga harus cari apartment sendiri tanpa agent. Walhasil dapet apartment yang cukup mahal, kisaran €1.400 per bulan unfurnished, exclusive (tidak termasuk utilities), di Hoofddorp (kota kecil di luar Amsterdam).
Cari Apartment Baru
Saya mulai sewa apartment bulan Februari 2018, dengan kontrak setahun (sampai Februari 2019). Setelah setahun, kami harus mencari apartment baru karena kontrak di apartment tersebut tidak bisa diperpanjang (for some reason). Saya dan istri mulai hunting apartment baru dari bulan September 2018. Pada waktu itu kami berencana mudik ke Indonesia pada bulan Januari 2019 selama 3 minggu sehingga kami sudah harus dapat apartment baru paling telat akhir tahun 2018.
Kami hunting apartment tanpa agent, karena keterbatasan biaya. Duidnya habis buat beli tiket mudik kami bertiga (saya, istri, dan anak), malah rekening bulan Oktober sempat menyentuh angka €200, yang mana sangat-sangat memperihatinkan. Kalau kami menggunakan jasa agent, ada biaya tambahan yang harus dibayar, biasanya sebesar satu bulan sewa apartment. Gak sanggup. Belum lagi sebagian besar apartment memerlukan deposit 2-3 bulan biaya sewa apartment. Entah dapat duit darimana.
Saya juga dihadapkan dengan situasi yang menjebak. Peraturan umum di Belanda mewajibkan tenant untuk menyewa apartment minimal 2 kamar apabila mereka memiliki seorang anak. Sedangkan harga sewa untuk apartment dengan 2 kamar dimulai dari €1.200. Dan, tenant harus memiliki pendapatan 3.5 sampai 4 kali lipat harga sewa. 3.5 x €1.200 aja udah €4.200, sedangkan duid bulanan saya mentok di €3.500. Gak kuat, pak.
Masuk bulan Desember saya belum juga dapat apartment baru. Pikiran sudah kacau. Waktu pencarian tinggal 4 minggu lagi. Orang-orang kantor mulai memperhatikan adanya perubahan raut wajah saya yang setiap harinya tampak lesu. Datang ke kantor juga selalu telat. Sampai saya dipanggil manager perihal perubahan sikap ini. Walaupun akhirnya saya cerita juga tentang pencarian apartment yang tak kunjung usai.
Rencananya waktu itu adalah, bila belum juga dapat apartment, istri dan anak untuk sementara waktu tinggal di Indonesia dan saya mau sewa apartment untuk saya sendiri (€800-900 per bulan), entah sampai kapan, mungkin 6 bulan. Walaupun sebenarnya juga tidak boleh, karena ada peraturan yang tidak memperbolehkan pemegang visa MVV (long stay) meninggalkan Belanda selama lebih dari 4 bulan berturut-turut.
Kalau istri dan anak benar-benar harus pulang ke Indonesia dan melanggar aturan tersebut, kami khawatir harus mengurus ulang persuratan dengan kementerian di Indonesia dan kedutaan Belanda yang tentunya memakan waktu yang tidak sebentar. Belum lagi biaya yang musti dikeluarkan. Pada titik ini kami sudah benar-benar pasrah, tidak ada rencana lain yang lebih baik dari membawa anak dan istri pulang ke Indonesia.
Namun ternyata Sang Pembuat Rencana turun tangan. Pertengahan bulan Desember saya bertemu seorang teman selepas solat Jum’at, yang mengabarkan bahwa sahabat baiknya sedang menyewakan apartment dengan harga yang lebih murah dibanding apartment saya waktu itu. Cus langsung besoknya saya kontak. Minggu viewing bersama 3 orang Indonesia yang juga sedang mencari apartment. Hari Selasa saya dapat kabar bahwa si landlord memilih saya untuk menjadi tenant di apartment-nya. Alhamdulillah.
Landlord-nya juga sangat baik, dari Maroko, seorang muslim yang taat. Ia membolehkan saya membeli semua barang yang ada di apartment tersebut seharga €700, termasuk sofa, lemari-lemari, meja makan, kursi, TV, kasur, mesin cuci, peralatan dapur, semuanya. Bahkan ia mengganti kulkas dan ovennya juga. “Aggap saja bayar deposit”, katanya. “Rasulullah pernah bilang, kalau kita mempermudah urusan orang lain, Allah akan mempermudah urusan kita”. Masyaallah, semoga sehat-sehat ya, pak!
Ketika saya tanyakan perihal fenomena apartment yang mengharuskan tenant berpenghasilan 3.5 sampai 4 kali lipat harga sewa kepada seorang teman yang sudah cukup lama tinggal di Belanda, ia bilang itu sudah biasa. Cara mengatasinya bisa dengan berpura-pura mengajak orang lain untuk share apartment, sehingga gabungan penghasilan mereka bisa melebihi threshold tersebut. Begitu dapat apartment, landlord biasanya tak peduli apakah orang yang diajak akan tetap tinggal di sana. Yang penting dokumen awal memenuhi syarat 😄
Pindahan Apartment
Kami sepakat untuk menempati apartment yang baru bulan Januari 2019, walaupun saya masih harus membayar sewa apartment yang lama juga. It’s okay, yang penting dapat tempat tinggal. Keuangan juga mulai membaik, meski sempat meminjam sana sini ke teman-teman.
Akhir Desember saya dan istri mulai packing barang untuk pindahan. Alhamdulillah, komunitas orang Indonesia di Amsterdam cukup solid: kami dibantu pindahan oleh teman-teman yang punya mobil. Kebetulan juga, barang kami gak begitu banyak, jadi pindahan apartment tidak begitu terasa.
Bagian yang cukup berat adalah memastikan bahwa apartment lama harus ditinggalkan dalam kondisi yang sama seperti ketika pertama kali dihuni: bersih, barang lengkap, tidak ada yang rusak. Saya menghabiskan 4 hari bersama istri membersihkan dapur dan kamar mandi karena banyaknya calcium yang tersebar terutama di lantai kamar mandi. Salahnya kami adalah tidak membersihkannya secara berkala sampai-sampai kami harus membeli berbagai macam bahan kimia, mencobanya satu-satu, keluar banyak biaya dan energi.
Kalau tidak dibersihkan, pihak apartment akan memanggil jasa schoenmaken (bersih-bersih) dan kami akan dikenakan biaya €60 per jamnya, sampai apartment bersih kembali. Ya gak mau lah ya!
Dan usaha 4 hari itu akhirnya terbayarkan. Ketika checkout pihak management tidak menemukan sesuatu yang aneh dan semua terlihat bersih. Kami pun dapat deposit kami kembali.
Management Keuangan
Cerita tahun pertama saya di Belanda barusan saya rasa cukup bisa jadi pelajaran bagi yang lain. Bahwa management keuangan itu sangat penting. Walaupun mencari apartment itu sulit, akan lebih sulit lagi kalau tidak ada pondasi keuangan yang kuat, yang setidaknya cukup untuk membayar deposit awal dan masih bisa bertahan hidup selama 2-3 bulan ke depan. Memang nominalnya terdengar cukup besar apalagi bagi yang baru datang sebagai ekspat tanpa tabungan atau dukungan finansial yang cukup.
Seharusnya dari awal saya menyadari, dengan gaji yang pas-pasan (asumsi istri tidak bekerja), uang sebisa mungkin ditabung dan tidak dihabiskan untuk hal-hal yang kurang esensial. Terlebih lagi kami tidak memiliki siapa-siapa di negeri orang, tidak ada yang bisa dijadikan “pelarian” kalau terjadi apa-apa. Juga dengan peraturan yang jauh lebih ketat dibanding Indonesia. Ibarat semuanya harus terencana dan disiapkan secara matang.
Menjadi ekspat gak selalu seperti yang terlihat dari luar. Terutama ketika dalam proses pencarian tempat tinggal. Tidak sedikit juga apartment yang memiliki kontrak sewa maksimal 2 tahun. Setelah 2 tahun ya harus mencari tempat tinggal baru. Kondisi ini mungkin terdengar oke-oke saja bagi yang masih single, namun akan jadi lain cerita kalau sudah memiliki keluarga.
Saya berencana melanjutkan series tulisan “Gak Enaknya Jadi Ekspat” bagian 2 tentang bagaimana mencari pekerjaan di negara orang yang juga bisa membuat kita pingin balik ke Indonesia.
Stay well everybody!